Selasa, 08 Mei 2012

Tata Tentrem (utopis)?

Dalam cerita dongeng atau dalam kisah-kisah dalam film situasi sebuah pedesaan selalu di gambarkan dengan keadaan yang asri, tentram keadaan sosial yang gotong royong, saling tolong menolong dll. Tetapi beberapa hari lalu saya menyaksikan acara talk show salah satu televisi swasta nasional, dimana salah satu pembicara mengatakan bahwa, kondisi pedesaan yang tergambar di atas tadi hanyalah mitos dan utopis. Seolah-olah jadi dunia ini penuh konflik, tidak ada yang namanya ketentraman, semua orang harus waspada dan selalu curiga pada orang lain, tidak ada yg gratis di dunia ini. Yaaa memang sih, kalau kita melihat kondisi yg damai itu memang sangat jauh dari sempurna, pasti lah ada konflik. Tapi pernyataan pembicara tadi memberi kesan yang sangat negatif. Saya sendiri sebagai yang berasal dari desa, mengakui memang pasti ada konflik, terutama dalam hal2 yg sensitif seperti kekuasaan. Tapi secara umum kondisi di desa cukup kondusif dan tersirat apa yg tergambar di atas tadi. Keramahan, gotong royong, menolong tanpa pamrih, dan saling berbagi. Bahkan pada orang2 yang tak dikenal pun. Berbeda keadaannya di kota metropolitan seperti Jakarta. Berjalan di tengah kota Jakarta, hati selalu was-was, waspada terhadap setiap orang. Bahkan mau menolong orang pun masih ada rasa curiga. Saya pernah, bertanya jalan kepada pedagang asongan di daerah blok m, dia tidak langsung memberikan jawaban, kedua kali saya bertanya baru dia menjawab, pun dengan wajah tidak suka, tiada keramahan sama sekali. Oke mungkin akan ada orang yang bilang, ga semuanya begitu kok, masih banyak orang yg ramah dan baik. Iya memang tp aku yakin, jumlahnya pun jarang. Hawa yang ada tuh kayaaknya tuh konflik terus, ada yang nyolot sana nyolot sini. Kenapa musti begitu, kenapa dikatakan Jakarta itu keras, coba dr dulu Stereotipe itu ga ada . . Kenapaaaaaaaaa . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar