Perjalanan ini saya lakukan pada tanggal 11 November 2011, bertepatan dengan tanggal ulang tahun almarhum ayah saya, tapi sebetulnya ini hanya kebetulan saja, karena memang perjalanan ini awalnya tidak direncanakan. saya hanya menerima ajakan dari kawan saya, yang kebetulan juga mendapat ajakan dari kawannya. Terlalu banyak kebetulan, bagi sebagian orang mengatakan bahwa apabila terjadi kebetulan secara berturut-turut maka itu merupakan sebuah pertanda, entahlah. Ini merupakan acara pendakian sekaligus syukuran yang diadakan oleh seorang pendaki senior salah satu founder Mapala UI, yang usianya seangkatan dengan Soe Hok Gie, saya tidak tahu nama asli beliau tetapi beliau akrab dipanggil Babe Utun. Beliau mengadakan acara ini untuk memperingati hari pertamanya mendaki Gunung Gede Pengrango, yang menurut pengakuannya, Beliau dan kawan-kawannyalah ketika itu menjadi orang pertama yang membuka jalur pendakian Gunung Gede Pangrango.
Suasana acara syukuran di basecamp Cibodas, dapat terlihat Babe Utun sedang memberikan sambutan di hadapan para kawan-kawan pendaki.
Suasana pemotongan tumpeng yang dilakukan oleh Babe Don kawan seperjuangan babe Utun, dalam foto juga terlihat sosok Idhat Sidharama Lubis pendiri Indonesian Green Ranger, beliau juga merupakan kakak kandung Idhan Dhanvantari Lubis, seorang pendaki legendaris yang meninggal di puncak Mahameru tahun 1969, bersama kawannya Soe Hok Gie.
Di atas adalah foto yang diambil sebelum kami melakukan pendakian, lokasinya masih berada di basecamp Cibodas, pukul 15.30. dari kiri ke kanan : Ania Safitri, Maulana Ghazali, Masdan W. Masyhari, Babe Utun, Vicianto K. Putra (saya sendiri) dan Rezcky Ramadhan. Sebagai informasi, usia Babe Utun ketika melakukan pendakian ini adalan 69 tahun, dan saya menyaksikan sendiri selama pendakian, stamina beliau masih sangat prima, bahkan setiap ada kesempatan istirahat beliau masih sempat menghisap sebatang rokok kretek.
Kami pun memulai perjalanan kami. Saat kami memulai perjalanan suasana sore itu mendung, awan hitam pun sudah terlihat menggelayut di atas perbukitan, namun cuaca itu tidak menciutkan niat kami untuk tetap meneruskan perjalanan. Setidaknya kami tidak harus berjalan di bawah terik matahari. sebelum benar-benar melakukan pendakian, kami melakukan pengecekan peralatan terakhir dan mengurus kelengkapan adminstratif di checkpoint . di bawah merupakan gambar ketika kami sampai di jembatan beton. pintu masuk dari awal perjalanan pendakian kami. kami berencana untuk mendirikan tenda dan berkemah di pos Kandang Badak, untuk kemudian paginya kami melakukan perjalanan menuju puncuk Gede.
Selama perjalanan saya menikmati udara yang begitu sejuk dan bersih di tengah hutan, yang akan jarang sekali dapat dirasakan apabila kita berada di tengah kota seperti Jakarta. Ini merupakan sebuah perjalanan penyegaran kembali, baik untuk tubuh maupun untuk pikiran, karena memang Saya dapat merasakan ketenangan yang diberikan oleh kesunyian hutan dan suara-suara makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. Bahkan saya sangat beruntung ketika itu dapat melihat seekor Lutung Jawa, yang sedang bergelayutan di pohon namun sayang saya tidak mengambil gambarnya. ini merupakan pengalaman yang jarang dapat kita temui, melihat seekor hewan liar hidup di habitat yang seharusnya, bukan di dalam kandang kebun binatang, saya dapat merasakan sebuah kebebasan. Setelah kurang lebih kami berjalan menyusuri hutan, kami pun beristirahat, sekedar menenggak air dan memakan makanan kecil, dan Babe Utun tentu saja menghisap sebatang rokok.
Setelah beristirahat salama kurang lebih 10 menit kami melanjutkan perjalanan kembali. Perjalanan tidak terasa membosankan, karena Babe Utun senang sekali bercerita, beliau banyak bercerita mengenai pengalamannya melakukan pendakian di berbagai tempat. Beliau bercerita pengalama beliau mendaki gunung Tambora, salah satu gunung berapi yang masih aktif yang berlokasi di Pulau Sumbawa. Tidak sekali saja beliau mengunjungi tempat itu, beliau adalah seorang jurnalis senior, jadi sering beliau kesana karena tuntutan pekerjaan. Tempat yang juga sering dikunjungi beliau adalah kampung adat Badui, saking seringnya ke tempat itu, bahkan beliau sudah dianggap sebagai bagian dari masyarakat. Beliau banyak bercerita mengenai budaya masyarakat Badui dan terutama kemampuan masyarakat Badui dalam mengenali dan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan hutan yang dapat dikonsumsi serta dijadikan obat. Menurut Babe Utun, Beliau banyak belajar ilmu tumbuh-tumbuhan dari masyarakat Badui, yang dapat digunakannya juga sebagai bekal bertahan hidup di tengah hutan. Kearifan masyarakat tradisional memang lebih beradab, mereka tidak akan melakukan eksplorasi alam yang berlebihan karena mereka sadar mereka membutuhkan alam untuk hidup. Jadi yang mereka lakukan adalah bersahabat dengan alam, mereka berbuat baik kepada alam, maka alam pun akan memberikan kebaikan.
Tepat ketika matahari terbenam dan hari menjadi semakin gelap kami sampai di lokasi air panas. Di lokasi tersebut kami berpapasan dengan seseorang dari arah yang berlawanan. Dia hanya sendiri, salah satu etika ketika berpapasan ketika melakukan pendakian adalah saling bertegur sapa. kami pun saling bertegur, dan basi-basi menanyakan tujuan masing-masing. Karena kami berpapasan dari arah yang saling berlawanan maka kami mengira, orang itu akan turun gunung, tapi diluar dugaan kami, ketika kami katakan kami akan ke Kandang Badak, orang itu menunjukkan raut muka bingung, dan dia mengatakan bahwa dia juga akan menuju pos Kandang Badak. Jelas ada yang salah di sini, rombongan kami tidak mungkin salah jalan, karena sedari tadi kami mengikuti jalur sejak dari bawah, jadi jelas kita dari bawah, sedangkan orang ini datang dari atas yang merupakan arah yang berlawanan dengan kami, jelas orang inilah yang tersesat. menurut cerita ini, awalnya dia berjalan berdua dengan salah seorang kawannya dalam rombongan, tetapi memang orang yang tersesat ini jalan lebih lambat dari kawannya, dan ketika mereka sampai di pos Kandang Batu kawannya sudah jauh mendahuluinya, dia tidak khawatir karena sebelumnya dia pernah menempuh jalur ini, dia pun terus berjalan tetapi dia malah kembali lagi ke Kandang Batu, jelas ada yang salah, dia mencoba melewati jalur yang dia lewati tadi yang dia kira akan menuju ke Kandang Badak, tetapi beberapa saat kemudian dia berpapasan dengan kami, yang kemudian dia sadar dia berjalan berlawanan arah. Kondisi ketika itu memang cukup gelap, semua orang juga akan kebingungan mencari jalan di saat gelap, apalagi dalam kondisi kelelahan dan sendirian. setelah melewati air panas, kami sampai di pos Kandang Batu bersama si orang tersesat, inilah pos dimana si orang tersesat tidak dapat menemukan jalur yang benar. Ketika Kami sampai di pos Kandang Batu hujan mulai turun, kawan-kawan mulai mengenakan rain coat, tapi Masdan malah mengeluarkan sebuah plastik panjang yang digunakannya untuk alat berlindung dari hujan, kami pun berlindung di bawah plastik itu membentuk barisan kebelakang, kami sudah bagaikan pemain barong sai transparan, hanya Babe Utun dan orang yang tersesat tentu saja yang tidak melakukan hal yang kami lakukan. Sebagai seorang yang senior Babe Utun lah yang mengecek jalur, dan menemukan jalur yang benar. setelah jalur ditemukan, kami pun tak berlama-lama berdiam di pos Kandang Batu, dan menlanjutkan perjalan di bawah siraman hujan. setelah beberapa jam perjalanan di bawah guyuran hujan akhirnya kami sampai di Kandang Batu, kalau saya tidak salah ingat kami sampai sekitar pukul 21.00. Si orang tersesat pun kembali berkumpul dengan robongannya, pelajaran yang dapat dipetik adalah jangan pernah sendiri dalam melakukan pendakian walau anda seorang ahli sekalipun, dan jangan pernah gengsi untuk mengatakan "saya lelah". Hujan pun berhenti, dan kami bermalam di Kandang Batu, kami tidak membuka tenda karena kami bermalam di dalam ruangan reruntuhan bangunan. kami hanya mengenakan sleeping bag yang kami bawa.
Pagi hari kami pun bangun dan mulai bersiap melakukan perjalanan ke puncak. kami membuat sarapan dan sekedar membuat minuman hangat. salah satu kawan karena tidak mau repot memasak, maka dia pun membeli nasi uduk dari penjual nasi uduk yang datang dari bawah. ya penjual nasi uduk, agak aneh memang di tengah hutan ada penjual nasi uduk, bahkan di puncak sekalipun kita dapat menemui penjual nasi uduk atau penjaja minimuan hangat. mungkin memang gunung Gede Pangrango ini sudah semakin banyak pengunjungnya, sehingga menjadi lahan basah bagi para penjaja makanan, sampai mereka rela melakukan pendakian (walau bagi mereka mungkin itu hal biasa saja). setelah sarapan dan berkemas kami pun siap untuk berangkat, sekitar pukul 08.00.
Dua gambar di atas adalah gambar saya ketika melintasi jalur sesaat sebelum sampai di jalur tanjakan setan. sayang saya tidak mengambil gambar jalur tanjakan setan. jalur tanjakan setan adalah jalur daki yang meiringannya hampir 90 derajat, untuk melewatinya kita harus berpegangan pada tambang yang memang dipasang pada jalur itu.
Tiga foto diatas berlokasi di jalur yang tidak jauh lagi untuk sampai di puncak. cuacanya memang terlihat sedikit berkabut, tetapi tidak sampai turun hujan. dan pada pukul 12.30 kami pun sampai di Puncak Gede. di bawah adalah beberapa foto kami di puncak Gede.
Kami pun memutuskan untuk bermalam di puncak. pengalaman yang sebelumnya belum pernah saya lakukan. kami pun mendapat tempat yang cocok untuk mendirikan tenda, lokasinya tepat di depan batu spanyol. namun pengalaman kami berkemah tidak sebaik yang dibayangkan. masalah mulai muncul ketika hari menjelang sore hujan pun turun, dan kami baru sadar kalau tenda yang kami gunakan bermasalah. tenda kami bocor, maka air hujan pun masuk ke dalam membuat kami kebasahan. Plastik panjang milik Masdan dan poco, tidak cukup membuat tenda kami terlindungi (ya tenda kami tidak ada flysheetnya, maklum tenda sewaan dan kami tidak sempat mengecek kondisinya). maka malam itu menjadi malam yang sangat panjang. kami harus menahan dingin dalam kondisi basah. tidak leluasa untuk tidur, ya kerena memang tidak cukup ruang untuk kami berlima untuk tidur. Di saat kondisi kritis seperti itu, adalah saat ketika kita begitu tulus dan memasrahkan diri ketika menyebut nama Tuhan. mungkin di saat itulah kita benar-benar merasa sangat dekat dengan Tuhan, begitu membutuhkan Tuhan, begitu lemah di hadapan Tuhan.
Hujan pun berhenti sekitar tengah malam, sedikit mengurangi penderitaan kami. ketika hujan berhenti langit menjadi begitu bersih, kami dapat melihat pemandangan bulan yang bersinar dengan terang. sebuah pemandangan yang menakjubkan. kesempatan berhentinya hujan kami manfaatkan untuk membuat makanan hangat dan minuman, sebelum kami melanjutkan istirahat kami dalam posisi yang seadanya. pagi hari kami mulai berkemas dan mulai perjalanan untuk turun. cuaca masih berkabut, sehingga walau kami sudah berkemah di puncak kami tidak bisa menyaksikan matahari terbit dari puncak, bahkan kami juga tidak bisa melihat pemandangan puncak Pangrango.
Kami turun melalui jalur yang berbeda dari jalur mendaki, kami turun melalui jalur Gunung Putri. Maka kamipun melewati alun-alun Surya Kencana. Alun-alun ini berada di lembah dan sangat luas, yang ditumbuhi banyak tanaman bunga edelweis, namun sayang sekali ketika itu belum masa bunga bermekaran.
Perjalanan kembali selalu terasa lebih cepat. itulah yang kami rasakan selama perjalanan turun, tidak ada kesuliltan berarti ketika perjalanan turun, ya karena memang kami jalan menurun sehingga laju kecepatan kami pun cukup cepat. namun saya membanyangkan apabila kami sedang mempuh jalur yang berlawanan kami akan akan mengalami kesulitan, karena memang untuk mendaki jalur Gunung Putri ini memang cukup terjal, sangat menguras energi, bagi para pendaki pemula seperti saya.
Kami sampai di bawah, di pos Gunung Putri sekitar pukul 14.00 atau lebih, saya kurang ingat. kami melakukan pengecekan di checkpoint, dan turun, istirahat dan makan. Perjalanan ini menyisakan sebuah kenangan, pengalaman, dan kisah yang tidak akan pernah saya lupakan, banyak pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga bagi saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar