Kamis, 21 Agustus 2014

THE JOURNEY: The Beginning

After all this time, finally I Write my travelogues. These Travelogues will filled by my experience and people who give me impression emotionally and also lessons about virtues. I am truly grateful to all the people and experiences that have made me feel so small and insignificant, makes me appreciate life more. 

My journey began with a sincerity and strong intention to provide my skills and knowledge that I have for the good of all people. Hahaha what a naive intention, the actual reason is I just want to travell without spend any cost and get fun. So The Jorney began when I signed up for the "Ekspedisi NKRI 2014: Koridor Maluku dan Maluku Utara" held by KOPASSUS or Special Forces Comand, one of special forces of Indonesia military. I through series of test (Administration, psycological test, physical test), until finally I was able to follow this program. Then we got training for 2 weeks in Situ Lembang, Bandung. This Training prepares us to face any possible condition in field. The real challenge is not in the training material provided but in very cold weather at the location of training. For me that used to live in a hot area like Jakarta, the cold weather of Situ Lembang just can't bear. Although this activities held by military but the training are less military way. And in fact many of the soldiers complain when they have to attend the training. 

After 2 weeks struggle to bear the cold, finally the day is about to come. In February 25, 2014, Sub Korwil Ternate team are ready to brace the sophisticated adventure, to see unseen places and creatures and so on and so on... at 07:30 a.m. we took off and flew to the land of Spices... And here it is, my adventure is about to come.... 

To be continued... 

Minggu, 15 Desember 2013

Inyong Wong Ngapak (Saya Orang "Ngapak")



Suatu waktu, di salah satu restoran cepat saji di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta.
A: eh  elu kan si B ya, anak SMA x Purwokerto kan
B: iya bener. lah kowe kan si A ya, bocah kranji mbok. kepriwe kabare. wis suwe banget ora ketemu ya.
A: iya, lu sekarang dimana, udah lama nih kita nggak ngobrol-ngobrol
B: ...

(peristiwa, nama tempat dan situasi hanya rekaan penulis saja).

Saya kerap kali menemui situasi seperti tergambar di atas. sekilas memang tidak ada yang aneh, namun bagi saya ada kejanggalan mendasar. Sebelumnya saya akan sedikit memaparkan latar belakang diri saya. Saya adalah orang rantau yang berkat keberuntungan dan ijin Tuhan dapat tinggal di kota yang bersinggungan dengan kota metropolitan Jakarta. Saat ini saya tinggal di kota Depok, untuk kepentingan akademis. Saya lahir dan menghabiskan masa kecil hingga remaja di kota Purwokerto, salah satu kota di Jawa Tengah. Purwokerto atau Banyumas memiliki karekteristik budaya yang unik jika dibandingkan dengan kultur Jawa pada umumnya, terutama dapat terlihat dari dialek bahasa yang digunakan. Dialek bahasa ini sering disebut dengan bahasa Ngapak, sebenarnya dialek ini tidak hanya dituturkan oleh orang Banyumas, tetapi juga beberapa wilayah yang berdekatan dengan Banyumas, seperti Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen. Ciri yang mudah dikenalli dari dialek ini adalah, warna bahasa yang terdengar lebih kasar dan tegas dibandingkan bahasa Jawa pada umumnya. sebagai contoh, ketika orang mengatakan "jangan seperti itu", bahasa Jawa pada umumnya akan menjadi "Ojo koyo ngono" (dalam bahasa tulis seharusnya vokal O, tetap ditulis A) sedangkan dalam dialek Banyumas akan menjadi "Aja Kaya Kuwe" vokal A tetap jelas dilafalkan A. Mungkin dalam bahasa tulis tidak akan terlihat jelas perbedaannya. Justru ketika dituturkan akan terasa jelas perbedaannya. Dari penekanan intonasi dan keunikan dialek itu, sering kali bahasa Banyumas atau ngapak dianggap bahasa yang lucu, kasar dan rendah oleh masyarakat di luar kelompok penutur bahasa ngapak tersebut. 

Berangkat dari pandangan tersebut, yang menjadi dasar munculnya fenomena yang penulis gambarkan di atas, muncul kegelisahan dalam diri saya. Sedemikian rendahnyakah bahasa ngapak? dan saya kira fenomena ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat Banyumas saja, tetapi juga orang-orang "daerah" atau masyarakat lokal pada umumnya. Banyak orang-orang lokal yang kemudian merasa malu menuturkan bahasa lokalnya ditengah masyarakat kota, karena mereka merasa bahasa lokal mereka adalah bahasa yang lebih rendah dari bahasa Indonesia, fenomena ini jelas terlihat di kota metropolitan seperti Jakarta. Ya memang kita tidak bisa menggunakan bahasa lokal di tengah forum yang majemuk, namun yang menjadi masalah adalah ketika komunikasi yang berlangsung hanyalah antara sesama penutur bahasa lokal, katakanlah sesama orang yang berasal dari Purwokerto, dan yang dibicarakan pun masalah personal kedua orang tersebut. Salah satu pelaku komunikasi itu merasa tidak nyaman apabila harus menggunakan bahasa ngapak di tengah masyarakat kota, mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia (yang sering kali juga dipaksakan, karena masih terdengar dialek asli daerahnya) supaya tidak dianggap rendah, ndeso, tidak berpendidikan dan cap-cap negatif lainnya yang melekat pada bahasa lokal tersebut. Bahkan suatu ketika kawan penulis dengan terang mengatakan, jangan pakai bahasa ngapak lah kalau di Jakarta, terlihat ndeso katanya. Bahkan, jangankan di kota seperti Jakarta, di kota dimana bahasa ngapak berasal pun banyak anak-anak muda yang merasa malu atau tidak "gaul" apabila menggunakan bahasa ngapak. saya menyaksikan sendiri sekumpulan remaja di dalam angkutan umum di Purwokerto yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, dengan sapaan "elu" "gue". 

Miris rasanya melihat fenomena tersebut, pertama karena Bahasa Indonesia yang seharusnya berfungsi menjadi bahasa persatuan, yang fungsinya lebih kepada bahasa perantara yang menghubungkan masyarakat yang majemuk, menjadi dalam konteks ini bahasa yang menegaskan kesenjangan, baik itu secara kultural maupun intelektual. Secara sadar ataupun tidak orang-orang lokal yang munggunakan bahasa Indonesia ditengah kelompoknya sendiri, seolah merasa dirinya lebih berintelektual. Kedua, bahasa daerah semakin terpinggirkan dengan segenap konsekuensi berantainya, secara tidak langsung dalam kasus orang yang malu menuturkan bahasa ngapak ditengah masyarakat kota, dirinya pun malu akan identitasnya dari mana dirinya berasal. Poin yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa kedudukan setiap masyarkat, budaya dan bahasa yang ada di nusantara adalah setara. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pun tidak menjadikannya bahasa yang mengatasi apapun. 

Dadi ya aja isin-isin dadi wong ngapak. Dewek kuwe pada karo wong-wong liyane. sing nduwe kesempatan nggo dadi apa bae. Aja ngasi kelalen asale dewek kuwe kang ndi.

"Bersatu kita Kompak, Bicara Kita Ngapak, Ora Ngapak, Dupak!!"

Selasa, 08 Oktober 2013

Jalanan dan Sudut Kota Purwokerto Part II

Sebelumnya saya sudah memposting foto-foto sudut-sudut kota Purwokerto yang saya dapatkan pada saat kunjungan mudik saya pada tahun 2012. Tahun 2013 ini saya berkesempatan untuk kembali lagi ke kota kelahiran saya untuk menghadiri acara reuni SMA (SMA N 2 Purwokerto). Kesempatan ini tidak saya sia-siakan begitu saja, maka sehari sebelum acara reuni saya melakukan perjalan keliling kota Purwokerto, untuk mendapatkan sejepret dua jepret gambar yang tidak saya simpan dalam alam kenangan saya tetapi juga berbagi untuk dunia (hehehe lebay amat). Sementara ini saya hanya berkesempatan untuk mengabadikan beberapa tempat di kawasan kota saja, di lain waktu saya akan menjelajah lebih jauh di kawasan Banyumas pada umumnya. Baiklah tak usah berlama-lama lagi inilah beberapa jepretan yang berhasil saya dapatkan. 


 (Siluet Gunung Slamet, St. Purwokerto)

(Stasiun Purwokerto) 

(Interior Stasiun Purwokerto)

Tiga gambar di atas diambil dari kawasan Stasiun Purwokerto. Keberadaan stasiun Purwokerto sendiri sudah ada sejak jaman Belanda, jalur kereta dibangun ketika itu untuk memudahkan distribusi produksi tebu yang banyak ditanam dikawasan Jawa, selain kemudian digunakan untuk mengakomodir kebutuhan transportasi masyarakat. Konon bahan-bahan konstruksi dalam interior stasiun Purwokerto tersebut, seperti rangka-rangka baja, masih asli dari jaman ketika stasiun itu dibangun.

(Lokomotif uap seri C1411)

Lokomotif uap seri C1411 merupakan salah satu peninggalan perkeretaapian masa lampau Purwokerto. Lokomotif ini pernah digunakan oleh Serajoedal Stoomtram Maatschappij atau Perusahaan Kereta Uap Lembah Serayu. Lokomotif ini yang menjadi salah satu "penggerak" perekonomian bangsa Belanda di Jawa. saat ini Lokomotif tersebut menjadi monumen yang tersimpan di bekas Stasiun timur Purwokerto, di JL. Jenderal Sudirman. 

(Tugu Pembangunan)

(Tugu Pembangunan)

Pada catatan perjalanan sebelumnya saya sudah menampilkan gambar Tugu Pembangunan ini yang berlokasi di simpang tiga JL. Gatot Subroto dan Jl. Merdeka. Kala matahari telah terbenam tugu ini disorot oleh lampu berbagai warna, yang memberikan kesan dramatis dan keindahan ketika malam. Menjadikan Kota Purwokerto lebih berwarna.

(Gedung Rumah dinas Bupati/ Residentwoning/ eks. Tempat tinggal Residen Banyumas di Purwokerto, Jl. Gatot Subroto)




Pada catatan sebelumnya saya pun sudah mengulas sedikit mengenai bangunan ini. Dapat terlihat foto terakhir merupakan foto lama saat gedung ini baru selaesai dibangun, hingga kini bangunan itu pun tak banyak mengalami perubahan. Dengan arsitektur yang demikian tidak berlebihan apabila gedung tersebut merupakan bangunan termegah pada masanya.

(SMP N 1 Purwokerto, Tempo Dulu)

(SMP Negeri 1 Purwokerto)

Mari kita beranjak ke kawasan JL. Jenderal Sudirman. Di kawasan ini ada salah satu sekolah menengah tingkat pertama yang keberadaan bangunan fisiknya sudah ada sejak masa pendudukan Belanda (kisaran waktu tahun 1940an). Sebelum bangunan tersebut dimanfaatkan menjadi sekolah, bangunan tersebut merupakan kantor kepolisian Belanda, yang seiring berjalannya waktu kerap beralih fungsi hingga pada tahun 1948 bangunan tersebut digunakan untuk sekolah hingga saat ini. Dapat terlihat meski waktu telah berlalu dan selalu mengalami pergantian fungsi, bangunan tersebut masih terlihat tidak banyak perubahan. 

 (Masjid Agung Baittussalam, Purwokerto, Tempo Dulu)

 (Masjid Agung Baittussalam, Purwokerto)

(Interior Masjid Agung Baittussalam, Purwokerto)

Masjid Agung Baittussalam yang berlokasi di kawasan Alun-alun Kota Purwokerto merupakan masjid besar yang menjadi pusat peribadatan masyarakat Purwokerto. Pada Foto tempo dulu dapat terlihat para tentara KNIL yang tengah beristirahat di depan masjid Agung Purwokerto. 

(Hulp En Spaar Bank, Purwokerto)

(Hulp En Spaar Bank, Purwokerto)

(Museum BRI dan Patung R.A. Wirjaatmadja)

Bangunan dengan papan nama Hulp En Spaar Bank tersebut merupakan bangunan cikal bakal Bank Rakyat Indonesia atau BRI, yang kini menjadi salah satu Bank terbesar di Indonesia. Bank ini didirikan oleh R.A. Wirjaatmadja pada masa pendudukan kolonial Belanda pada tahun 1895, dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden. Bank tersebut diperuntukan untuk perekonomian mikro masyarakat Purwokerto. Bangunan tersebut kini dimanfaatkan sebagai Museum Bank Rakyat Indonesia. 

 (Bakso Telkom)

(Warung bakso Telkom)


Oke sekarang saya akan sedikit membahas mengnai kuliner kesukaan saya yang ada di Kota Purwokerto. Sebenarnya ada banyak kuliner yang ada di kota Purwokerto. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah Bakso Telkom yang berlokasi di sebelah kantor Telkom yang ada di Jalan Merdeka, yang saya suka dari Bakso ini adalah tambahan cincangan jeroan sapi. Meski dengan kondisi warung yang sederhana namun rasa dapat dijamin.

(Klenteng Hok Tek Bio, Pasar Wage, Purwokerto)

(Klenteng Hok Tek Bio, Pasar Wage, Purwokerto)

(Pedagang Pisang, Pasar Wage, Purwokerto)

(Toko Kelontong, Pasar Wage, Purwokerto)

(Bangunan Lama, Bernuansa Arsitektur Tion Hoa)


Pasar Wage merupakan pasar induk tradisional di Purwokerto, kata wage berasal dari nama hari dalam kalender jawa (Legi/manis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) pada masanya Pasar, seperti pasar di tempat-tempat lain beraktifitas berdasarkan hari, Pasar wage maka pada masanya adalah pasar yang buka atau beraktifitas hanya pada hari Wage dalam kalender Jawa, nama tersebut hingga kini masih tetap digunakan. sejak dulu kawasan pasar wage dihuni oleh orang-orang keturunan Tiong Hoa/Cina dan Arab, kawasan arab di pasar wage kini dikenal dengan nama Kauman, tak heran karena jika kawasan ini ditempati oleh para pendatang karena fungsinya sebagai penggerak roda perekonomian. Maka dapat terlihat dari peniggalan bangunan yang ada di sekitar kawasan Pasar Wage, ada sebuah klenteng yang dibangun oleh masyarakat Tiong Hoa, bangunan-bangunan lama yang ada di sekitar kawasan tersebut pun sangat berciri khas arsitektur Tiong Hoa. 

(Becak Tua, di sudut gang Kawasan Pasar Wage)

(Becak Tua, di Sudut Kawasan Pasar Wage)

(Sudut gang Kawasan Pasar Wage)

Foto-foto di atas merupakan salah satu sudut gang di kawasan Pasar Wage Purwokerto. dibawah ini ada beberapa site yang ada di sekitar Purwokerto.

(Salah satu gang di kawasan Pereng, Belakang Lapas Purwokerto)

(Kali Banjaran, Kawasan Sawangan, Purwokerto)

(Trotoar di Depan Kotatip, Jl. Jenderal Sudirman, Purwokerto)

Purwokerto merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang masih relatif tenang, hiruk pikuk lalu lintasnya pun masih tidak begitu ramai. masih nyaman untuk melakukan penjelajahan di sekitar kota Purwokerto dengan berjalan kaki. Demikianlah sekelumit hasil jeprat-jepret saya selama berada di Purwokerto bulan Februari lalu. Purwokerto kota yang akan menjadi tujuan pulang saya. 



  

Rabu, 27 Maret 2013

Hasil Karya Ponakan

Ada banyak hal menarik yang bisa muncul dari apapun dan siapapun. Salah satu hal menarik yang saya temukan adalah hasil karya tulis dan gambar ponakan saya yang masih sekarang berusia 8 tahun. Sekarang dia ada di kelas 2 SD. Mungkin ini masa dimana dia belajar menulis dan membaca. Setiap hari Selasa dan Kamis dia akan berkunjung ke rumah, biasanya sih dia menghabiskan waktunya dengan bermain, bermain dengan imajinasinya sendiri tentunya, atau dia melakukan kegiatan seperti menggambar atau apapun. Kali ini dia menulis, mungkin karena dia melihat saya sedang mengetik mengerjakan tugas di laptop, maka dia tertarik untuk menulis. Sebelum ini dia pernah, menggambar, gambar pensil yang sangat sederhana tentunya. Dia menggambar seekor kucing yang sedang berada di halaman, dan anehnya hari ini dia menulis tentang kucing. Apakah dia tertarik dengan kucing entahlah, tapi yang membuat saya tertarik adalah bahwa ruang imajinasi anak-anak kadang tak terduga. Saya melihatnya dari gambar yang dibuatnya dan tulisan yang dia hasilkan, tampaknya sederhana memang, namun sarat dengan "sesuatu". Berikut foto-foto gambar yang dia buat, dan tulisannya. 





Dia membuat tulisan itu tidak dalam bentuk paragraf, tetapi menjadi sebuah daftar dari 1-40. Saya akan menulis ulang ceritanya dengan format yang sama.

Pergi ke Toko Kucing

  1. ada seorang yang bernama nayo dan eki
  2. mereka pergi ketoko kucing
  3. membeli kucing eki beli ku
  4. cing bernama anggora nayo beli
  5. kucing bernama persia sama
  6. tempat makanannya sama
  7. beli makanannya sama kandang
  8. nya mereka pulang mereka
  9. langsung menaro makanan
  10. nya sama ada tempat pupnya
  11. kucingnya juga ditaro dikan
  12. dangnya mereka bermain
  13. dengan kucingnya kucingnya
  14. juga dimandikan mereka sangat
  15. senang mempunyai kucing
  16. hari saptunya mereka
  17. pergi ke toko kucing
  18. lagi kucing anak mere
  19. ka beli kucing anaknya 1000
  20. mere sangat senang 
  21. mempunyai kucing banyak
  22. hari minggunya beli kucing 
  23. lagi 200 rubu mereka
  24. sangat senang mereka ber
  25. main kucing lagi kucing
  26. nya terus dimandikan
  27. terus juga dimakaninnya
  28. terus semua kucing
  29. nya sudah besar
  30. mereka sangat
  31. senang kucing-kucingnya
  32. besar terus kucing
  33. yang dua puluh nya mati
  34. terus nayo dan eki sedih
  35. mereka terus mengu
  36. bur kucing itu
  37. mereka terus mengelus 
  38. kucing yang belum mati
  39. mereka bermain lagi dengan
  40. kucingnya

Demikian kisah Pergi ke Toko kucing . . . .