Jumat, 11 Mei 2012

Celotehan pemikiran (sambungan Symbols)


Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Symbols, saya mengemukakan masalah pengertian Cinta, dan simbol-simbol dalam masyarakat manapun yang seolah menjadi batasan-batasan manusia untuk bertindak. 
yang saya kemukakan mengenai Cinta adalah suatu perasaan yang universal dimana setiap makhluk Tuhan pasti dapat merasakannya, dan setiap makhluk Tuhan pun memiliki definisi yang berbeda.
Kali ini saya ingin membahas mengenai bentuk hubungan yang dijalani oleh manusia. kita semua tahu bahwa setiap manusia di dunia ini pasti menjalin hubungan dengan manusia lain bahkan makhluk Tuhan yang lain. sudah banyak teori yang menjelaskan alasan mengapa manusia pasti berhubungan dengan manusia lain. ada yang mengatakan untuk pemenuhan kebutuhan, ada pula yang mengatakan untuk kepentingan regenerasi manusia itu sendiri dsb. bahkan Tuhan pun sudah menuliskannya dalam Kitab Suci Al-Quran : 
Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “[al-Hujurat:13].
dari petikan Surat tersebut menjelaskan bahwa manusia memang sudah ditakdirkan untuk saling berhubungan, dan masih banyak ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan hal serupa, tapi saya tidak akan membahas permasalahan ayat-ayat itu. yang ingin saya bahas disini adalah mengenai kebutuhan manusia akan sesuatu yang lain yang dapat membantunya mengaktualisasikan dirinya di dunia ini. 
dalam kehidupannya manusia selalu memiliki kemampuan untuk berpikir dan mendefinisikan dirinya sendiri bahkan apa yang ada diluar dirinya. hal itu dilakukan di dalam benak dan pikiran manusia itu sebagai seorang individu. sampai disini manusia memiliki kemerdekaan atas dirinya sendiri (terlepas dari apakah pemikirannya terpengaruh oleh apa yang ada di luarnya), di sini manusia bebas menghasilkan pikiran seperti apapun. 
terkait dengan masalah ini, kemudian manusia mengungkapkan pikirannya ke "dunia" melalui tidakan-tindakan dan sikapnya, mulai dari sini semua pemikirannya teraktualisasikan dan dibenturkan dengan berbagai bentuk simbol, dapat berupa nila, aturan, norma dsb. yang mulai membatasi diri manusia. baik sampai disini kesimpulan sementaranya adalah bahwa manusia bertindak dan bersikap dicoba untuk tidak melampaui batas. 
kembali pada permasalahan Cinta. Cinta adalah hasrat atau pemikiran yang universal, yang seharusnya tidak dibatasi oleh simbol-simbol produksi masyarakat. ketika seseorang ingin memnuhi hasrat mencintai atau dicintai oleh sesama manusia, lebih khusus yang berlawan jenis, seharusnya masing-masing orang tersebut memiliki kebebasan untuk saling mengaktualisasikan pemikiran dan hasratnya pada orang yang dicintainya sebagai pasangan hidupnya. 
pernikahan merupakan salah satu institusi hubungan manusia, yang pada kenyataannya merupakan perwujudan simbol dari hubungan manusia, yang memiliki serangkaian aturan-aturan dan nilai di dalamnya. berbagai aturan-aturan dan nilai ini juga yang menciptakan semacam syarat-syarat seseorang akan menjalani pernikahan, yang kemudian orang tersebut dikatakan pantas dan siap untuk menikah. jadi sekali lagi manusia seolah-olah dibatasi hanya untuk sekedar mengaktualisasikan hasrat atau pemikirannya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. 
aturan dan batasan ini untuk kebaikan tentunya, yang katanya agar manusia tidak melampaui batas. tapi tidakkah kita boleh untuk mendapatkan ruang gerak yang lebih longgar dengan tidak selalu membenturkan tindakan dan sikap kita dengan berbagai smbol dan nilai . . . biarlah langkah ini berjalan tanpa harus ragu untuk melakukan apa, biarlah benak ini terus berputar dan menemukan kebenaran dengan jalan yang telah dipilihnya . . .
bukan bermaksud untuk tidak menerima aturan dan nilai yang ada tetapi berusaha untuk menelaah kembali apakah semua yang terkonstruksi sekarang ini memang sudah pantas . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar