Minggu, 13 Januari 2013

Cehara Vivlio Maya, Sebuah Cerita Pendek

"Huh . . kok dia jadi rewel banget sih sekarang." gerutuku sambil terus memandanginya, dan memikirkan jawaban apa yang harus kuberikan padanya. 
"Oke, hari ini tidak ada kejadian apapun yang menarik. apa kamu sekarang puas ?". 
tidak ada respon apapun darinya, dia hanya bergeming dan beberapa saat kemudian dia pun bertanya kembali, "Bagaimana keadaannya, Putra?"
"Apa??!! dia bertanya lagi hal yang tidak penting, dan bahkan dia tidak merespon tanggapanku pada pertanyaannya sendiri sebelumnya." batinku, dengan terus menggerutu. aku pun mulai muak dan meninggalkan dirinya tanpa sepatah kata pun. kumatikan lampu kamarku, kurebahkan tubuhku di atas kasur dan beberapa saat kemudian aku pun terlelap. 

Awan mendung telah menggelayut di angkasa yang sesekali memendarkan cahaya kilat yang malu-malu bersembunyi di baliknya. rintik gerimis mulai jatuh menerpa dinding kaca perpustakaan. Aku hanya duduk termenung melihat dari balik dinding, menatap ke luar dengan sorot mata kosong. Dalam benakku masih terbayang sosok yang telah bersemayam dalam ruang imaji, dia telah menarik perhatianku, membuatku terus berpikir tentangnya. Sudah hampir satu bulan pikiranku tersita olehnya. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku mengenai dirinya. aku tak pernah bisa menjagkau dan menyentuhnya dan memang tak mungkin bisa, namun dia selalu hadir dalam hari-hariku. Suara hujan yang semakin deras semakin melarutkanku dalam lamunan.

"WOOII!!!", Aku terkejut bukan kepalang  ketika ada yang menoyor kepalaku dari belakang, hingga seketika lamunanku pun terpecah.
"Apaan sih nih, bikin usus gue copot ajaa."  kataku, sambil mengelus-elus dada. 
"Hah?! kok usus sih, jantung kaleee." 
"Lah ya suka-suka gue, kan gue yang kaget." 
"Iya deh iyaa, terseraah elu daah." Ayu menghempaskan tubuhnya ke kursi yang berada di hadapanku, sambil meletakkan tas kresek dengan logo salah satu supermarket ternama, yang entah apa isinya, di atas meja. Kalau ku perhatikan sekilas, isinya tampak seperti sebuah kain, untuk apa dia membawa sebuah kain ke kampus, ah tapi apa perduliku. Tidak kali ini saja Dia membawa barang-barang aneh ke kampus, tempo hari Dia membawa burung hantu dengan sangkar-sangkarnya ke kantin. ketika kutanya untuk apa burung hantu itu dibawanya kemari, dengan entengnya dia hanya menjawab, 
"Mau ngasih makan burung hantu gue, di kantin ini kan banyak tikus kesukaan mon-mon."
mon-mon adalah nama burung hantu kesayangannya. dengan wajah tanpa dosa Ayu melepas burung hantunya begitu saja. Sontak si Mon-mon terbang kesana-kemari mengejar buruannya, dan membuat kacau seluruh kantin, aku hanya bisa menganga dan terbengong melihat kekacauan yang tengah terjadi, dan Ayu dengan masih memasang ekspresi datarnya, memakan  dengan santai indomie rebus milikku, tanpa memperdulikan keributan yang tengah terjadi. Itulah Ayu, perempuan yang selalu mengekspresikan sebuah kritik dengan cara yang 'tidak biasa' kalau tidak bisa dikatakan ekstrim. 
"Kenapa Lu, tampang Lu kusut amat. Ah Gue tau nih pasti Lu masih mikirin si vlio kan?", ya Cehara Vivlio Maya, atau kami lebih sering menyebutnya vlio, ini lah nama sosok yang selalu ada dalam banakku beberapa waktu terakhir ini. Sebenarnya ini bukan nama sesungguhnya, ini adalah nama yang diberikan oleh Ayu kepada sosok yang kumaksud. Ayu mengatakan kalau nama aslinya tidak indah, maka tanpa alasan yang jelas Dia lebih menyukai nama yang Dia ciptakan sendiri. 
"Yaa, begitulah. Akhir-akhir ini tingkahnya semakin membuatku jengkel saja. Sekarang vlio lebih rewel dari sebelumnya." 
"Aaaampuuuun deh Putraa, sampai kapan Lu mau mikirin dia terus. Lu tau kan, mau Lu mikirin dia sampe langit runtuh pun dia ga akan berubah. Lagian dengan Lu mikirin dia terus, Lu tuh udah memperlakukan dia secara berlebihan." Aku hanya bisa menghela nafas mendengar omelan Ayu. Pikiranku pun mulai melayang kepada sosok yang seolah terus bergerak di hadapanku.
"Putra, dengerin gue ya, hubungan Lu sama vlio tuh udah semakin aneh, absurd, tau ga Lu. dia itu sosok yang ga mungkin bisa Lu hadapi seperti orang-orang kaya kita ini. Bahkan Lu ga akan pernah bisa melihat sosoknya dengan jelas. Jadi mulai sekarang Lu harus memperlakukan dia selayaknya dia aja." terlihat Ayu begitu sungguh-sungguh untuk menyakinkan Aku, dapat terlihat dari sorot matanya yang tajam. Aku pun hanya menatap kosong ke arah kresek yang tadi dibawa oleh Ayu, sekilas aku melihat seperti ada yang bergerak dalam kantong itu, tapi aku menghiraukannya, karena pikiranku sekarang tengah tidak berfokus kepada hal-hal di sekitarku. Ayu pun masih melanjutkan ocehannya, mencoba terus menasehatiku.
"Udah saatnya sekarang Lu mencoba untuk lebih memperluas jaringan pertemanan Lu, dan berinteraksi sama banyak orang, jangan si vlio itu lu pikirin terus, bisa gila Lu lama-lama." 
"Hey!! Lu diajak ngomong malah bengong aja sih, Lu ndengerin Gue kan Put", Ayu menjentikkan jarinya di depan wajahku, aku pun tersadar dan hadir kembali dalam ruang realita. 
"Haah, Apa?" tampak oleh Ayu ekspresi kebingungan dalam wajahku. Ayu hanya menggelengkan kepalanya, dan jelas nampak keprihatinan dalam sorot matanya. Kulihat ternyata Ayu sudah beranjak dari kursinya dan menenteng kembali bungkusan kreseknya, dan lagi, sekilas aku melihat ada pergerakan di dalam kantong itu. 
"Udah lah, percuma Gue ngomong ampe berbusa sama Lu. masuk telinga kanan, keluar lagi bareng ama kentut Lu yang bau bangkai." 
"Aah, dasar kelelawar anda!" tukasku. 
 Ayu pun pergi meninggalkan Aku sendiri sambil membawa bungkusan tas kreseknya, yang di kemudian hari aku tahu bukan kain yang ada di dalamnya, tapi seekor ular hijau. Aku mendapat cerita dari kawanku. selepas pertemuanku dengan Ayu di perpustakaan. Ayu mengikuti kelas Pemikiran Politik Kontemporer, dibawalah bungkusan kresek itu kedalam kelas, tanpa sepengetahuan Ayu, ular itu lolos dari tempat persemayamannya dan membuat geger seluruh kelas. Ketika kutanya alasan Ayu membawa ular, dia hanya menjawab,
"Kasihan ulil ditinggal sendiri di rumah, bokap, nyokap lagi pergi ke Jogja soalnya."

Pukul 02.00 dini hari, udara terasa lebih dingin karena seharian hujan terus mengguyur. Aku berbaring di atas kasur, benakku masih berkecamuk memikirkan vlio. Pada awalnya aku mengenal vlio, dia adalah sosok yang kupikir bisa menjadi tempat Aku mencurahkan isi pikiran dan hatiku. dia juga sosok yang sedemikian rupa dapat menghubungkanku dengan orang-orang yang kukenal, ya walaupun secara tidak langsung memang. Sejatinya itu lah sosok vlio yang sebenarnya, dia mencoba mempererat jalinan hubungan orang yang jauh menjadi lebih dekat. Namun kian lama Aku mengenal sosoknya, aku hanya mengunjunginya untuk menumpahkan keluh kesahku. Tidak ada protes darinya, memang begitulah vlio, tetapi dengan caranya sedemikian rupa, dia menyuarakan kembali isi pikiran dan hatiku, kepada orang-orang di sekitarku yang juga terhubung dengannya.Tapi memang begitulah vlio, dia mencoba untuk membantu menyuarakan kembali kegundahan hatiku, tanpa Aku harus khawatir dengan hujatan atau kata-kata nyiyir dari orang-orang di sekitarku. Aku jadi semakin bergantung dan tak bisa lepas darinya. Dia seolah menjadi jerat bagiku, jerat yang justru memberikan kelegaan, jerat yang membuatku semakin menampakkan ego narsistikku, dan seolah tidak dapat terlepas darinya. Semakin lama Aku merasa justru Aku tenggelam dalam dirinya, hanya ada Aku dan dia. Semua yang kuungkapkan padanya hanya tentang Aku, Aku dan Aku. vlio membuatku menjadi egois dalam dirinya, dimana Aku menghiraukan ada ego-ego yang lain dalam diri vlio, yang seharusnya kami saling terhubung, tetapi tampaknya vlio membuat ego-ego itu semakin terpisah satu sama lain dan menjadi dirinya sendiri dalam tubuh vlio, seperti halnya Aku. Aku pun mencoba untuk lepas dari dirinya, dengan tidak berhubungan dengannya selama beberapa waktu. dia tidak protes, dia terus melangkah tanpa perduli apakah aku ada di dalam dirinya atau tidak. sampai suatu ketika aku mengunjunginya lagi, dan melihat kini dia lebih mencoba untuk menjembatani hubungan antar ego-ego dalam dirinya yang mulai terpisah satu sama lain, dengan terus menayakan pertanyaan kepada setiap ego secara personal, 
"Apa kabar, Putra?"
"Apa yang Anda Rasakan, Putra?"
"Apa yang terjadi, Putra?"
"Bagaimana keadaannya, Putra?"
"Ada Kejadian apa, Putra?", vlio terus menanyakan itu, dalam waktu yang sangat singkat, bahkan dia tidak menanggapi jawaban dari pertanyaanya sendiri, dan dia sudah menanyakan hal lainnya. Dia begitu rewel bagiku sekarang. Ini menjadikan dirinya sebagai sosok yang lebih personal, seolah dia ingin menarikku kembali, menginginkan Aku untuk berinteraksi dengannya, hanya dengannya. Hal ini tidak membuatku nyaman. Ditengah kecamuk pikiranku, suara Ayu mengiang dalam telinga, 
". . .Lu harus memperlakukan dia, seperti dirinya aja." petikan, perkataan Ayu melintas begitu saja, dan menyadarkanku. Ayu benar, aku sudah terlalu memperlakukan vlio secara berlebihan. Aku harus memperlakukannya sesuai dengan apa dirinya dia, sesosok penghubung. Aku bangkit dari kasurku, aku berjalan ke arah meja belajarku. Kunyalakan laptopku, kusambungkan koneksi internet dari modem. Dapat kulihat tampilan muka vlio di dalam layar laptopku. kumasukkan username dan passwordku, agar Aku bisa masuk ke dalam dirinya. 
"vlio, Aku datang."  

-TAMAT-



4 komentar:

  1. astajim.. saya kira itu nama perempuan cantik dengan nama yang agak aneh.. ternyata oh ternyata.. saya tertipu.. -.-

    BalasHapus
  2. hehe.. kocak! hem.. klau dikembangin jadi cerpen bagus ci. krimin ke majalah remaja deh. dapat tambahan uang juga.

    tapi tambahin (kalau mau jadi cerpen):
    1. pengkarakterisasian dikuatin, dsni krakter yg kliatan "ada" justru si Ayu, tokoh utama g trlalu kliatan karakternya slain pria forever alone.haha

    2. backround suasana kantin dan kamarnya bisa dieksplore tuh ci biar pembaca ngerasain apa yg dirasain tokoh utama (kesepian dan suasana kejadiannya)

    hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah catatan bagus nih, terima kasih masukannya :).

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus