Selasa, 27 November 2012

Bahasa-bahasa Part II

Sedikit memutar ulang tentang pembahasan bahasa-bahasa yang sebelumnya pernah saya bahas di blog ini. Pada ulasan pertama saya mengenai bahasa-bahasa kerangka pemikirannya adalah mengenai ragam bahasa yang ada di dunia. Ragam bahasa ini memiliki karakter yang berbeda dari segi bentuk (bunyiannya) dan strukturnya. Pada dasarnya bahasa yang saya maksud dalam tulisan sebelumnya adalah hanya sebuah alat yang mungkin sifatnya terlokalisir, artinya perbedaan bentuk bahasa memang ada di setiap wilayah pelosok dunia, namun makna sifatnya universal, makna melampui bentuk bahasa. makna inilah yang kemudian sebenarnya objek pertukaran kita dalam berkomunikasi, karena sifatnya yang universal maka kita bisa menyampaikannya dalam bentuk bahasa apapun bahkan tanpa bahasa sekalipun. untuk mempermudah pemahamannya saya beri contoh begini, Cinta adalah perwujudan bentuk bahasa Indonesia dari sebuah perasaan atau emosi tertentu, perasaan atau emosi terntentu ini saya anggap sebagai makna yang terkandung dalam kata Cinta, Love adalah bentuk bahasa Inggris dari makna yang sama dengan Cinta. 

Dalam pembahasan kali ini saya akan lebih membahas mengenai ranah tempat kita melakukan pertukaran makna. Ranah yang dimaksud di sini adalah sebuah ruang dimana ruang itu membatasi makna untuk diartikan atau dipahami dalam suatu konteks tertentu saja. Seperti dalam penjelasan Piere Bourdieu bahwa ada berbagai ruang dalam kehidupan sosial yang setiap ruangnya memiliki simbol dan dinamika pertukaran atau "peperangannya" sendiri. Setiap ruang atau ranah ini juga dapat saling terkoneksi terkoneksi satu dengan yang lain, namun koneksi ini hanya dalam bentuk irisan saja. untuk mempermudah memahami konsep ini saya beri contoh sederhana seperti ini, sekumpulan para tukang ojeg sedang berbincang mengenai kelangkaan bahan bakar premium diberbagai SPBU di kawasan Jakarta, mereka saling mengeluhkan bahwa untuk tetap beroprasi mereka terpaksa harus mengisi tangki motor mereka dengan bahan bakar pertamax yang harganya lebih tinggi, sedangkan di saat yang bersamaan para penumpang enggan untuk membayar lebih, hal ini mengakibatkan pendapatan para tukang ojeg pun menurun, sedangkan mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari yang untuk di hari-hari sebelumnya pun masih belum bisa dikatakan cukup. Di waktu yang sama di tempat lain para petinggi pertamina dan para pejabat-pejabat pemerintahan sedang membahas mengenai perlu adanya pembatasan pasokan premium karena dikhawatirkan akan melebihi kuota bahan bakar bersubsidi, apabila tidak ada pembatasa pasokan bbm bersubsidi maka anggaran pemerintah akan jebol, negara akan mengalami kerugian, dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas ekonomi atau bahkan bisa merambat ke masalah stabilitas politik nasional. Dari contoh ini kita dapat melihat secara sederhana perbedaan ranah para tukang ojeg dengan ranah para pejabat pemerintahan. dalam ranah tukang ojeg terdapat simbol-simbol atau pengetahuan yang tidak ada dalam ranah para pejabat pemerintahan contohnya seperti masalah domestik rumah tangga, pun di ranah tukang ojeg pun tidak ada simbol-simbol atau pengetahuan yang ada dalam ranah pejabat pemerintahan, seperti masalah defisit anggaran. sesuatu yang jelas adalah bahwa kedua ranah ini beririsan dalam masalah ekonomi. Namun penjelasan mengenai ranah, simbol dan pengetahuan sebenarnya lebih kompleks dari contoh tersebut, dan pemaknaan saya mungkin terlalu dangkal. 

Dalam kehidupan sehari-sehari ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita pasti akan cenderung memilih orang yang memiliki kesamaan dengan kita. contohnya, kita adalah penggemar sepak bola pasti akan lebih memilih mengobrol dengan orang yang menggemari sepak bola pula, karena kita memiliki pengetahuan yang sama, kita dalam ranah yang sama. obrolan akan bisa berlangsung sangat panjang, kalau banyak orang mengistilahkan juga, kita memilliki "bahasa" yang sama yaitu "bahasa bola". Kesamaan "bahasa" ini tidak berhenti hanya seputar kita membicarakan tentang bola, seperti pemain, strategi, isu-isu terkait persepakbolaan, tetapi juga juga lebih jauh dalam menggunakan "bahasa" bola itu untuk bentuk interaksi komunikasi yang lain seperti digunaakan dalam candaan, atau membahasakan suatu aktifitas tertentu dengan menggunakan istilah persepakbolaan seperti contoh, dalam percakapan ini, 

A: "wah gua udah lima hari ini absen kentor telat mulu nih"
B: "waah parah lu! ntar lu bisa kena kartu kuning loh dari bos"

istilah "kartu kuning" adalah istilah yang biasa digunakan dalam persepakbolaan, dalam konteks pembicaraan ini kartu kuning dimaknai sebagai surat peringatan atau teguran dari atasan. nah bagi orang-orang yang tidak gemar sepak bola, atau tidak tahu sama sekali tentang sepak bola (dan tampaknya jarang sekali orang yang tidak tahu sama sekali) pasti akan bingung ketika mendengar percakapan itu, dalam hal ini dapat dikatakan dia tidak mengerti "bahasa" yang digunakan kedua orang tersebut. Inilah salah satu alasan mengapa orang lebih cenderung mendekat dengan orang yang memiliki "bahasa" yang sama. fenomena ini bisa dianalogikan dengan kesulitan orang yang memiliki bentuk bahasa tertentu berhadapan dengan orang yang memiliki bentuk bahasa yang berbeda. Seperti orang Indonesia yang hanya bisa berbahasa Indonesia bertemu dengan orang Amerika yang hanya bisa berbahasa inggris. kedua belah pihak pasti akan enggan saling berkomunikasi, namun jika terpaksa yang mereka menggunakan bahasa isyarat yang itu pun sangat sulit dilakukan. Jika mereka ingin tetap berkomunikasi dengan baik, maka jalan keluarnya adalah mau tidak mau mereka harus saling mempelajari bahasa lawan bicara. disinilah tantangannya, kedua belah pihak harus mau keluar dari zona nyaman mereka untuk mempelajari dan menggunakan bahasa yang tidak biasa mereka gunakan. begitu pula dalam kehidupan sosial, apabila kita ingin menjalin hubungan yang baik dengan berbagai masyarakat ya, setidaknya kita tahu "bahasa" orang atau masyarakat bersangkutan, agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar