Suatu waktu, di salah satu restoran cepat saji di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta.
A: eh elu kan si B ya, anak SMA x Purwokerto kan
B: iya bener. lah kowe kan si A ya, bocah kranji mbok. kepriwe kabare. wis suwe banget ora ketemu ya.
A: iya, lu sekarang dimana, udah lama nih kita nggak ngobrol-ngobrol
B: ...
(peristiwa, nama tempat dan situasi hanya rekaan penulis saja).
Saya kerap kali menemui situasi seperti tergambar di atas. sekilas memang tidak ada yang aneh, namun bagi saya ada kejanggalan mendasar. Sebelumnya saya akan sedikit memaparkan latar belakang diri saya. Saya adalah orang rantau yang berkat keberuntungan dan ijin Tuhan dapat tinggal di kota yang bersinggungan dengan kota metropolitan Jakarta. Saat ini saya tinggal di kota Depok, untuk kepentingan akademis. Saya lahir dan menghabiskan masa kecil hingga remaja di kota Purwokerto, salah satu kota di Jawa Tengah. Purwokerto atau Banyumas memiliki karekteristik budaya yang unik jika dibandingkan dengan kultur Jawa pada umumnya, terutama dapat terlihat dari dialek bahasa yang digunakan. Dialek bahasa ini sering disebut dengan bahasa Ngapak, sebenarnya dialek ini tidak hanya dituturkan oleh orang Banyumas, tetapi juga beberapa wilayah yang berdekatan dengan Banyumas, seperti Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen. Ciri yang mudah dikenalli dari dialek ini adalah, warna bahasa yang terdengar lebih kasar dan tegas dibandingkan bahasa Jawa pada umumnya. sebagai contoh, ketika orang mengatakan "jangan seperti itu", bahasa Jawa pada umumnya akan menjadi "Ojo koyo ngono" (dalam bahasa tulis seharusnya vokal O, tetap ditulis A) sedangkan dalam dialek Banyumas akan menjadi "Aja Kaya Kuwe" vokal A tetap jelas dilafalkan A. Mungkin dalam bahasa tulis tidak akan terlihat jelas perbedaannya. Justru ketika dituturkan akan terasa jelas perbedaannya. Dari penekanan intonasi dan keunikan dialek itu, sering kali bahasa Banyumas atau ngapak dianggap bahasa yang lucu, kasar dan rendah oleh masyarakat di luar kelompok penutur bahasa ngapak tersebut.
Berangkat dari pandangan tersebut, yang menjadi dasar munculnya fenomena yang penulis gambarkan di atas, muncul kegelisahan dalam diri saya. Sedemikian rendahnyakah bahasa ngapak? dan saya kira fenomena ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat Banyumas saja, tetapi juga orang-orang "daerah" atau masyarakat lokal pada umumnya. Banyak orang-orang lokal yang kemudian merasa malu menuturkan bahasa lokalnya ditengah masyarakat kota, karena mereka merasa bahasa lokal mereka adalah bahasa yang lebih rendah dari bahasa Indonesia, fenomena ini jelas terlihat di kota metropolitan seperti Jakarta. Ya memang kita tidak bisa menggunakan bahasa lokal di tengah forum yang majemuk, namun yang menjadi masalah adalah ketika komunikasi yang berlangsung hanyalah antara sesama penutur bahasa lokal, katakanlah sesama orang yang berasal dari Purwokerto, dan yang dibicarakan pun masalah personal kedua orang tersebut. Salah satu pelaku komunikasi itu merasa tidak nyaman apabila harus menggunakan bahasa ngapak di tengah masyarakat kota, mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia (yang sering kali juga dipaksakan, karena masih terdengar dialek asli daerahnya) supaya tidak dianggap rendah, ndeso, tidak berpendidikan dan cap-cap negatif lainnya yang melekat pada bahasa lokal tersebut. Bahkan suatu ketika kawan penulis dengan terang mengatakan, jangan pakai bahasa ngapak lah kalau di Jakarta, terlihat ndeso katanya. Bahkan, jangankan di kota seperti Jakarta, di kota dimana bahasa ngapak berasal pun banyak anak-anak muda yang merasa malu atau tidak "gaul" apabila menggunakan bahasa ngapak. saya menyaksikan sendiri sekumpulan remaja di dalam angkutan umum di Purwokerto yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, dengan sapaan "elu" "gue".
Miris rasanya melihat fenomena tersebut, pertama karena Bahasa Indonesia yang seharusnya berfungsi menjadi bahasa persatuan, yang fungsinya lebih kepada bahasa perantara yang menghubungkan masyarakat yang majemuk, menjadi dalam konteks ini bahasa yang menegaskan kesenjangan, baik itu secara kultural maupun intelektual. Secara sadar ataupun tidak orang-orang lokal yang munggunakan bahasa Indonesia ditengah kelompoknya sendiri, seolah merasa dirinya lebih berintelektual. Kedua, bahasa daerah semakin terpinggirkan dengan segenap konsekuensi berantainya, secara tidak langsung dalam kasus orang yang malu menuturkan bahasa ngapak ditengah masyarakat kota, dirinya pun malu akan identitasnya dari mana dirinya berasal. Poin yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa kedudukan setiap masyarkat, budaya dan bahasa yang ada di nusantara adalah setara. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pun tidak menjadikannya bahasa yang mengatasi apapun.
Dadi ya aja isin-isin dadi wong ngapak. Dewek kuwe pada karo wong-wong liyane. sing nduwe kesempatan nggo dadi apa bae. Aja ngasi kelalen asale dewek kuwe kang ndi.
"Bersatu kita Kompak, Bicara Kita Ngapak, Ora Ngapak, Dupak!!"